Produk gerabah rumahan yang berkembang di RT 18, RT 19, dan RT 20 di RW 2 tersebut memiliki banyak jenis. Di antaranya, cobek, pot bunga, gentong, guci, dan tempayan. "Di sini, para pengrajin gerabah memiliki banyak kemampuan untuk memproduksi berbagai jenis produk gerabah," ujar Sutrino (50), salah seorang pengrajin gerabah.
Keahlian membuat gerabah didapatkan warga kampung ini secara turun-temurun. Bahkan, Sutrisno, sudah belajar membuat gerabah sejak usia 12 tahun. Kala itu, yang paling banyak diproduksi di kampungnya adalah pot bunga.
Era tahun 1980-an, pembuatan gerabah untuk pot bunga berkembang pesat di desa ini. Pot bunga tersebut dikirim ke Kota Batu, yang memang menjadi sentra tanaman hias. Tetapi, seiring dengan perkembangan zaman, permintaan pot bunga berbahan gerabah semakin menurun.
Dia menceritakan, banyak pengrajin yang sempat gulung tikar akibat tergantikan dengan produk lainnya. "Awalnya ada sekitar 200 pengrajin di sini. Akibat sepinya permintaan pot bunga, akhirnya mereka gulung tikar. Tetapi banyak yang masih bertahan dengan membuat produk lain," tuturnya.
Jumlah pengrajin yang bertahan dan masih aktif berproduksi mencapai sebanyak 180 orang. Rata-rata dalam sehari setiap pengrajin mampu memproduksi antara 150-300 biji gerabah berbagai jenis.
Harga gerabah sangat bervariatif. Dia mencontohkan, untuk produk jenis cobek, ukuran terkecil dengan diameter 16 cm, harganya hanya Rp1.500/biji. Cobek gerabah diameter 18 cm, harganya hanya Rp1.700/biji. Sedangkan untuk ukuran paling besar, dengan diameter 18 cm, harganya Rp1.900/biji.
Untuk mendapatkan bahan baku, para pengrajin tidak mengalami kesulitan, karena bisa didapatkan dari desanya sendiri dan tetangga desa. Harganya Rp100 ribu untuk satu pikap. "Dari tanah liat sebanyak satu pikap tersebut bisa dibuat gerabah hingga sebanyak 2.500 biji," ujarnya.
Sedangkan untuk pemasarannya masih terbatas di wilayah Malang Raya dan sekitarnya. Selain itu, mereka juga melayani pemesanan. Sutrisno berharap bisa membentuk koperasi untuk para pengrajin, sehingga bisa meringankan beban para pengrajin.
Selain itu, koperasi tersebut juga diharapkan mampu memperluas jaringan pemasaran. Salah satunya, dengan membuka ruang pamer di jalan utama desa yang merupakan jalur utama menuju Jalur Lintas Selatan (JLS) dan jalur wisata.
Harapan yang sama juga diungkapkan pasangan Totok Haryanto (25) dan Niki Wahyu Astutik (25). Pasangan muda yang sudah memiliki satu putra berusia empat tahun ini juga memproduksi gerabah khusus cobek dengan sistem cetak. "Produknya memiliki kualitas lebih bagus, karena hasil cetakan lebih halus," ujar Totok.
Sehari-hari, Totok bekerja sebagai tenaga satuan pengamanan (satpam). Saat tidak jaga siang hari, keduanya memproduksi cobek berbagai ukuran dengan sistem cetak. Dalam sehari, minimal mereka mampu menghasilkan 200 biji cobek gerabah.
Selain kualitasnya lebih bagus, cobek gerabah dengan sistem cetak ini memiliki harga lebih tinggi. "Untuk ukuran terkecil, harganya bisa mencapai sekitar Rp2.500/biji. Ukuran yang paling besar, harganya sekitar Rp7.500/biji. Kami memasarkannya sendiri ke wilayah Kabupaten Pasuruan," ungkap Niki.
Kepala Urusan Umum Desa Pegalaran Fariz Agung Hermawan mengatakan, potensi kampung gerabah sangat besar. Utamanya, dari sisi jumlah pengrajin yang sangat banyak dan sudah berada dalam satu kampung.
Pengen baca lanjutan nya buka link di samping : http://ift.tt/2hjKNsT
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Menggairahkan Kembali Produksi Gerabah di Kampung Gethak"
Post a Comment