Soetardjo adalah anak dari pasangan Kiai Ngabehi Kartoredjo yang saat itu menjabat asisten wedana di Onderdistrik Kunduran, dalam Distrik Ngawen, Blora. Sementara, ibunya adalah Mas Ajoe Kartoredjo yang merupakan keturunan keluarga pemerintahan dari Banten.
Soetardjo Kartohadikoesoemo menempuh pendidikan di Sekolah Dasar Belanda (Europese Lagere School atau ELS) di Tuban. Kemudian, melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pamong Praja, Osvia (Opleiding School Voor Inlandse Ambtenaaren) di Magelang pada 1907. Dia bisa menyelesaikan pendidikan di situ dalam tempo empat tahun.
Pada 19 Oktober 1911, dia diangkat sebagai pembantu juru tulis (hulpschrijver) berdasarkan keputusan residen Rembang. Gajinya 10 gulden. Sebanyak 7,5 gulden dia berikan kepada ibunya, sementara sisanya dia pakai untuk mentraktir teman-temannya di Kantor Asisten Residen, collecteur, dan kejaksaan.
Dua bulan kemudian dia mendapat promosi menjadi juru tulis jaksa. Pekerjaan itu dia jalani selama lima bulan, sebelum akhirnya naik pangkat menjadi mantri kabupaten.
Saat menjadi mantri, Soetardjo kecewa lantaran pada konferensi bulanan di Kabupaten Blora yang pertama kali dia hadiri, seluruh pamong praja kecuali bupati, diharuskan berpakaian hitam memakai keris dan duduk bersila di atas tikar. Sementara, pegawai Belanda, termasuk inspektur polisi dan kapiteun titulair bangsa Cina, duduk di atas kursi.
Berkat protes dia dan kawan-kawannya, pada konferensi bulanan berikutnya, semua pegawai pamong praja, termasuk dirinya sebagai mantri kabupaten, dibolehkan duduk di atas kursi dengan berpakaian sikepan putih atau baju pendek putih pakai keris.
Selanjutnya, dia menjadi asisten wedana di daerah itu (1913), kemudian menjadi pembantu jaksa (1915), jaksa (1915), dan bersekolah lagi di Bestuurschool (sekolah pamong praja) di Jakarta (1919-1921).
Setelah lulus Bestuurschool, dia diangkat menjadi asisten wedana lagi di Onderdistrik Sambong oleh residen Rembang. Tak sampai setahun, dia dipindah menjadi asisten wedana di Onderdistrik Bangilan.
Selanjutnya, pada 1924, dia menjadi wedana di Distrik Tambakrejo (Kabupaten Bojonegoro). Distrik ini terkenal daerah yang berat dalam sisi pemerintahan, karena itu tidak disukai pamong praja. Meski dipromosikan, ada saja pamong praja yang tidak senang ketika ditempatkan di situ. "Bagi saya tidak ada senang atau tidak senang. Pemerintah telah menetapkan saya sebagai wedono di Tambakrejo. Habis perkara," kata Soetardjo.
Pada 1929, dia menjabat sebagai Patih Gresik merangkap Landrechter. Selanjutnya, pada 1931-1942, dia menjadi anggota College van Gedelegeerden Volksraad (Badan Pekerja Dewan Rakyat).
Dan, saat menjabat anggota Volksraad dia terkenal dengan Petisi Soetardjo yang diajukan pada 15 Juli 1936, kepada Ratu Wilhelmina serta Staten Generaal (parlemen) di negeri Belanda.
Dikutip dari wikipedia, petisi ini diajukan karena makin meningkatnya perasaan tidak puas di kalangan rakyat terhadap pemerintahan akibat kebijaksanaan politik yang dijalankan Gubernur Jenderal de Jonge. Petisi ini ditandatangani juga oleh IJ Kasimo, GSSJ Ratulangi, Datuk Tumenggung, dan Ko Kwat Tiong.
Pengen baca lanjutan nya buka link di samping : http://ift.tt/2zvc2HF
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Soetardjo Kartohadikoesoemo, Gubernur Pertama Jawa Barat"
Post a Comment