Teuku Umar disebutkan menyatakan keinginannya itu kepada Pang Laot dan pasukannya sebelum bergerak ke Meulaboh. “Beungoh singoh geutanyoe jep kupi di keude Meulaboh atawa ulon akan syahid (Besok pagi kita akan minum kopi di Meulaboh atau aku akan gugur).” Kalimatnya itu sangat dikenal, terutama bagi masyarakat Aceh.
Namun, Teuku Umar tak bisa mewujudkannya. Dia gugur setelah tertembak peluru pasukan Belanda, di dadanya. Usianya masih 45 tahun saat itu. Perjuangannya di medan perang harus berakhir pada malam menjelang tanggal 11 Februari 1899.
Sebelumnya, dia bersama pasukannya datang dari arah Lhok Bubon menuju pinggiran Kota Meulaboh. Mereka siap-siap mencegat dan menangkap Jenderal Van Heutsz. Lewat mata-matanya, Teuku Umar tahu jenderal Belanda itu menempatkan sejumlah pasukan di Meulaboh tanpa pengawalan ketat.
Ternyata, gerak-geriknya telah diketahui pula oleh Belanda lewat mata-mata. Jenderal Van Heutsz sudah menempatkan sejumlah pasukan yang cukup kuat di Ujong Kalak, perbatasan Kota Meulaboh, untuk mencegat Teuku Umar.
Beberapa jam kemudian, dalam kegelapan malam, pasukan Belanda melihat kerumunan orang yang diperkirakan pasukan Teuku Umar. Mereka langsung menembak membabi buta. Pagi harinya, 11 Februari 1899, pasukan Belanda melihat jenazah musuhnya bergelimpangan. Sementara jenazah Teuku Umar sendiri, dibawa kabur anak buahnya Pang Laot, agar tidak jatuh ke tangan Belanda.
Setelah berkali-kali dipindahkan, jenazahnya akhirnya dimakamkan di Kampung Mugo, Aceh Barat, di Hulu Sungai Meulaboh. Perjuangan Teuku Umar dilanjutkan istrinya, Cut Nyak Dhien.
Teuku Umar dianugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden No. 087/TK/1973 tanggal 6 November 1973. Hingga kini, kisah perlawanannya masih menyisakan tanda tanya. Dalam pelajaran sejarah di sekolah dan buku-buku sejarah resmi, perjuangan Teuku Umar yang memiliki leluhur dari Minangkabau itu disebut sangat terkenal dengan taktik atau strategi perangnya. Dia tak hanya melawan secara frontal, tapi juga menggunakan tipu muslihat, taktik dua rupa, atau berpura-pura bekerja sama dengan Belanda.
Banyak yang memuji-muji taktik perangnya ini karena dinilai hebat. Tak sedikit pula yang curiga. Seperti disebutkan dalam buku Teuku Umar yang ditulis Mardanas Safwan tahun 1984. Yang meragukan dia, terutama beberapa tokoh golongan ulama.
Selama berperang melawan Belanda, Teuku Umar memang tidak sekali saja pernah menerapkan taktik dua rupanya ini. Peristiwa penyerangan kapal Nicero dan Hoc Canton menjadi dua dari sekian banyak bukti kesuksesan taktiknya. Hasilnya, banyak senjata Belanda yang dirampas. Di sisi lain, taktik ini dikecam karena tidak sedikit menimbulkan kerusakan dan korban jiwa dari rakyat Aceh.
Namun, kisah Teuku Umar yang paling mengejutkan dan terjadi pada 30 September 1893. Bersama 13 panglima bawahan dan 250 orang pasukannya, ia menyerahkan diri kepada Belanda. Teuku Umar pun bersumpah akan setia kepada Belanda dan menjadi sekutunya. Sumpah itu diucapkan di hadapan Gubernur Militer Hindia Belanda di Aceh, Jenderal Deijckerhoff.
Buku sejarah mencatat, ini siasat perang Teuku Umar untuk memperoleh senjata dan mempelajari siasat Belanda. Perang telah memakan banyak korban. Saat itu, Teuku Umar menganggap inilah caranya untuk mendapatkan logistik dan persenjataan berperang melawan Belanda.
Penyerahan diri Teuku Umar dan pasukannya membuat gempar dan memicu kemarahan rakyat Aceh. Teuku Umar dianggap memihak kepada Belanda. Rakyat Aceh bahkan disebut banyak menyebutnya pengkhianat. Kemarahan bangsa Aceh saat itu sangat wajar. Apalagi, Teuku Umar terlihat menaati sumpahnya pada Belanda. Atas kesetiaannya itu, pada 1 Januari 1894, dia diberi gelar Panglima Perang Besar oleh Gubernur Van Teijn. Juga, nama kebesaran Teuku Johan Pahlawan. Bahkan, dia diizinkan membentuk legium pasukan sendiri yang berjumlah 250 tentara.
Pengen baca lanjutan nya buka link di samping : http://ift.tt/2uOIGBk
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Teuku Umar, Kopi, dan Kisah Taktik Dua Rupanya"
Post a Comment