Sudanco (komandan Kompi) Latief Hendraningrat didampingi Soehoed Sastro Koesoemo, seorang pemuda dari barisan pelopor, dengan seutas tali kasar mengerek dan mengibarkan Bendera Merah Putih pada tiang bambu diiringi lagu Indonesia Raya. Upacara yang berlangsung di kediaman Bung Karno itu begitu sederhana, tanpa iringan musik dan tanpa barisan protokol, namun hikmat.
Sosok Fatmawati begitu lekat dengan Sang Merah Putih karena beliau yang menjahit sendiri. Dalam buku Catatan Kecil Bersama Bung Karno, Volume 1, terbit 1978, Fatmawati menceritakan dari mana mendapatkan kain untuk membuat Bendera Merah Putih.
Menurut Fatmawati, suatu hari pada 1944, setahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan, dirinya mendapat kain dua blok berwarna merah dan putih dari Hitoshi Shimizu, pimpinan barisan Propaganda Jepang lewat pemuda bernama Chairul Basri. Kain itu oleh Fatmawati kemudian dijahit menjadi sebuah bendera.
Saat itu Ibu Fatmawati dalam keadaan mengandung putra sulung, Guntur Soekarnoputra. Ibu Fatmawati sesekali terisak dalam tangis sambil menjahit bendera merah putih karena Indonesia akhirnya merdeka dan mempunyai bendera dan kedaulatan sendiri.
Sebelum 16 Agustus 1945, Fatmawati sudah menyelesaikan sebuah Bendera Merah Putih. Namun ketika diperlihatkan ke beberapa orang, bendera tersebut dinilai terlalu kecil. Untuk itu harus dibuat lagi Bendera Merah Putih yang baru dan lebih besar.
Malam itu juga, saat tiba di rumah, Fatmawati membuka lemari pakaiannya. Beliau menemukan selembar kain putih bersih bahan seprai. Namun tak punya kain merah sama sekali. Ketika itu, ada seorang pemuda bernama Lukas Kastaryo (Di kemudian hari masuk militer dengan pangkat terakhir Brigjen) yang berada di kediaman Soekarno.
Lukas Kastaryo pada majalah Intisari edisi Agustus 1991, menuturkan, saat itu dia berkeliling dan akhirnya menemukan kain merah yang dipakai sebagai tenda warung soto. Kain itu ditebusnya dengan harga 500 sen (harga yang cukup mahal kala itu) dan menyerahkannya ke ibu Fatmawati.
Fatmawati akhirnya menyelesaikan bendera merah putih yang baru malam itu juga. Bendera berukuran 276 x 200 cm akhirnya dikibarkan tepat 17 Agustus 1945 dan menjadi bendera pusaka. Atas jasanya pada negara, Fatmawati diberi gelar pahlawan nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Abdurrahman Wahid dengan No 118/TK/2000 tanggal 4 November 2000.
Untuk pertama kalinya setelah Proklamasi, Bendera Pusaka dikibarkan di Istana Negara Jakarta pada peringatan Detik-detik Proklamasi 17 Agustus 1950. Kemudian pada 29 September 1950 Sang Merah Putih berkibar di depan gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai pengakuan kedaulatan dan kemerdekaan Bangsa Indonesia oleh badan dunia.
Pada 27 Oktober 1945, Churen yang menjadi pesawat pertama TNI AU resmi menggunakan warna merah dan putih sebagai identitasnya karena resmi mengabdi untuk RepubIik Indonesa. Penerbang yang pertama kali menerbangkan Cureng adalah Komodor Udara Agustunis Adisutjipto.
Bendera Pusaka Sang Merah Putih, memiliki makna filosofis. Merah berarti keberanian, putih berarti kesucian. Merah melambangkan raga manusia, sedangkan putih melambangkan jiwa manusia. Keduanya saling melengkapi dan menyempurnakan jiwa dan raga manusia untuk membangun Indonesia.
Dari sejumlah catatan sejarah, penggunaan bendera merah putih sudah dikenal sejak masyarakat Indonesia kuno. Warna merah dan putih sudah dipakai sebagai lambang pada panji, umbul-umbul, atau pun tunggul.
Pengen baca lanjutan nya buka link di samping : http://ift.tt/2fBmM2I
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Misteri Jejak Merah Putih, dari Jayakatwang hingga Fatmawati"
Post a Comment