Psikolog dari Universitas Kristen Maranatha Bandung Efnie Indrianie mengatakan, bagi seseorang yang logika berpikirnya berfungsi baik, biasanya tidak akan melakukan tindakan demikian. Rata-rata tindakan bunuh diri dan membunuh orang lain, jika dilihat dari sudut pandang psikologi, dianggap sebagai perilaku yang bersifat patologis.
Artinya, ada gangguan perilaku atau gangguan fungsi mental dalam diri individu pelaku. Salah satu pemicunya adalah efek dari stres yang bersifat kumulatif, menahun, dan tidak terselesaikan. (Baca: Diduga Diracun Ayahnya, Seorang Bayi di Cirebon Tewas)
Menurut dia, secara ketahanan mental, individu yang bersangkutan sudah tidak mampu lagi menanggulanginya. Ketika efek stres kumulatif memuncak dan tidak terselesaikan dalam jangka waktu yang sangat lama, biasanya fungsi dari otak depan akan terhambat.
Yang aktif adalah amigdala yang ada di limbic system otak. Amigdala ini bersifat membajak logika manusia, sehingga yang dilakukan adalah respons emosi yang sangat dahsyat dan spontan. Pembajakan amigdala terhadap fungsi otak depan (logika) itu bisa dalam hitungan detik.
“Jadi, itu yang terjadi pada kasus ayah meracuni bayinya lalu bunuh diri di Kecamatan Pabedilan, Kabupaten Cirebon,” ujar Efnie kepada KORAN SINDO tadi malam.
Kadang-kadang, ujar Efnie, seseorang yang ketahanan mentalnya masih kuat, mungkin hanya menyakiti diri sendiri, orang lain, menyerang, marah-marah, mengamuk, dan seterusnya. Tetapi jika ternyata emosi negatif yang tersimpan di amigdala sudah sangat berat, biasanya memicu seseorang melakukan aksi bunuh diri.
“Otak depan yang berfungsi sebagai pertimbangan rasional dan logika manusia, analisa berpikir yang baik, sama sekali tidak berfungsi karena dibajak oleh amigdala. Jadi, memang ada sesuatu, patologi atau kelainan atau gangguan perilaku,” ujar dia.
Lantas apakah pelaku bisa diproses hukum? Efnie berpandagan harus dilihat dulu apakah patologi atau gangguan perilaku tadi sifatnya situasional atau spontan. Jika pelaku tidak mengalami gangguan jiwa, tentu harus diproses hukum.
Untuk menentukan kondisi tersebut, sebut Efnie, perlu pemeriksaan psikolog dan psikiater. Dua ahli kejiwaan ini harus bahu-membahu menegakkan satu diagnosa. Jika memang efek stres kumulatif, patologi yang dilakukan bersifat reaksional dan spontanitas, amarah sesaat, itu belum sampai gangguan jiwa.
"Tapi kalau memang dari hasil pemeriksaan yang bersangkutan sudah mengalami gangguan jiwa atau skizofrenia, tentu tidak bisa dikenai hukum,” tutur Efnie.
Kasus di Semarang, lanjut Efnie, penegak hukum melakukan proses dan langkah pemeriksaan kejiwaan tersangka sehingga melanjutkan proses hukum terhadap pelaku. “Tentu tim kepolisian bekerja sama dengan psikiater dan psikolog untuk memeriksa kejiwaan tersangka hingga mendapat satu kesimpulan bahwa tersangka tidak terganggu jiwanya. Walaupun kadang ada tersangka berpura-pura gila saat diperiksa,” pungkas Efnie.
(thm)
Pengen baca lanjutan nya buka link di samping : http://ift.tt/2D97vxO
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Ayah Racuni Bayinya, Psikolog: Otak Depan Pelaku Tidak Berfungsi"
Post a Comment