Search

Kisah Kebiadaban PKI di Kanigoro, Ribuan Massa Bercelurit Serbu Masjid

Jejak-jejak kekejaman Partai Komunis Indonesia (PKI) masih bisa dirasakan di Kediri dan Blitar. Tapi untuk merunut saksi sejarah aksi PKI tersebut sudah mulai meninggal satu per satu. Beruntung ada dua orang saksi sejarah pergolakan 1965 yang masih bisa menceritakan kekejaman PKI pada peristiwa Kanigoro awal tahun 1965.

Kedua orang itu adalah Mohammad Ibrahim (75) warga Kota Kediri, dan Samsuka (80) warga Desa Kesamben, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Blitar.

Ketika itu pada 10 Januari 1965, Mohammad Ibrahim masih berumur 22 tahun. Ibrahim muda adalah aktivis Pergerakan Islam Indonesia (PII), kala itu berafiliasi dengan Masyumi.

Pada hari itu, Ibrahim bertugas menjadi satuan pengamanan kegiatan mental training (Mentra) PII se Jawa Timur. Rencananya Mentra PII digelar empat hari, 10-13 Januari 1965.

Perwakilan dari Madura, Jember, Banyuwangi, Madiun, Blitar, Ponorogo, sudah berdatangan sehari bahkan dua hari sebelum dimulai kegiatan Mentra. Hampir semua wilayah di Jawa Timur ketika itu mengirimkan wakilnya.

”Ada 125 pemuda dan pemudi. 27 orang adalah santri wanita,” tutur Ibrahim ditemui di Masjid Al Ikhlas Desa Ngadiluwih, Kecamatan Ngadiluwih, Kabupaten Kediri, Kamis 28 September 2017.

Ibrahim mengenakan, baju batik lengan panjang saat duduk bersila di teras Masjid Al Ikhlas Ngadiluwih.

Dia dikelilingi jamaah salat zuhur. Mereka dengan tekun pula mendengarkan penuturan pria yang sudah puluhan tahun berjuang melalui PII tersebut. Menurut Ibrahim, lokasi pelaksanaan Mentra PII sengaja dipusatkan di rumah KH Said di Desa Kanigoro, Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri.

PII tidak sembarangan memilih rumah KH Said. Pemilihan lokasi juga melalui observasi. Rumah KH Said di Kanigoro hanya berjarak 12 km dari Kota Kediri. Pada zaman itu, rumah KH Said juga sudah memiliki penerangan dari genset yang melimpah.

”Ada musala (saat ini sudah menjadi Masjid Kanigoro). Ada Sekolah Rakyat Islam. Dan ada SMP Islam. Punya kelas-kelas. Semua sangat memadahi untuk Mentra PII,” tutur pria yang masih kuat mengemudikan mobil itu.

Tetangga KH Said juga mendukung penuh Mentra PII. Mereka ada yang menyediakan rumahnya untuk kantor. Bahkan ada rumah warga dijadikan asrama putri. Hari pertama Mentra berjalan lancar. Kegiatan Mentra dipusatkan di madrasah. Biasanya dimulai dari Salat Subuh. Setelah itu berlanjut dengan pengajian, kajian, dan diskusi hingga malam. Kegiatan hingga hari ketiga berjalan lancar.

”Setelah kami semua salat subuh pada hari keempat atau pada tanggal 13 Januari 1965, kami kedatangan tamu tak diundang. Saat itu ada pengajian,”. Ibrahim berhenti sejenak. Bibirnya mengatup sebentar. ”Ada ribuan, mungkin lima ribu orang mengepung kami,” katanya.
”Ayo bunuh antek-antek nekolim. Ayo bunuh anak-anak Masyumi”. Teriakan massa bersenjatakan celurit benar-benar mengagetkan peserta Mentra.

Ibrahim sebagai panitia pengamanan tidak bisa berbuat banyak. Untungnya peserta putri sudah pulang ke asrama. Massa itu mengatasnamakan Pemuda Rakyat, dan Barisan Tani Indonesia (BTI).

Let's block ads! (Why?)



Pengen baca lanjutan nya buka link di samping : http://ift.tt/2xEl5sF

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Kisah Kebiadaban PKI di Kanigoro, Ribuan Massa Bercelurit Serbu Masjid"

Post a Comment

Powered by Blogger.