“Ini adalah bubuk kopi Sridonoretno dari Kecamatan Dampit, Kabupaten Malang. Kopi ini telah diproses sejak dari panen hingga pascapanen secara baik. Buah kopi yang dipetik hanya yang berwarna merah,” ujar pendamping petani kopi dari Aliansi Petani Indonesia (API), Dery Pradana (27), belum lama ini.
Pria bertubuh tambun, lulusan Fakultas Pertanian (FP) Universitas Brawijaya (UB) Malang tersebut, sejak dua tahun terakhir mendampingi petani kopi di wilayah Kecamatan Dampit. Utamanya, di Desa Sri Mulyo, Desa Sukodono, dan Desa Baturetno.
Kelompok petani kopi di tiga desa ini akhirnya bersepakat untuk bersatu mengembangkan kopi sebagai produk unggulan desanya, dengan nama Sridonoretno. Ini singkatan dari nama ketiga desa tersebut. Ada sekitar 125 petani kopi yang tergabung dalam kelompok ini.
Nama Sridonoretno juga dijadikan nama produk kopi yang mereka hasilkan. Dari tiga wilayah desa tersebut, para petani mampu memproduksi sebanyak 500 ton kopi per tahun. Sayangnya, yang sudah mampu diolah dengan konsep pertanian yang baik atau good agriculture practices baru tujuh ton saja.
Selain Dery atau yang akrab disapa Menel ini, pendampingan petani kopi untuk membangun sistem pertanian kopi yang berkeadilan dan berkeadaban ini juga dilakukan sejumlah orang. Mereka adalah Sekretaris Jenderal API, Muhammad Nurudin, bersama Demsi Danial, dan Edi Sasono yang merupakan pegiat sosial serta pengelola Kedai Kopi Rembug Pawon.
Awal pendampingan petani kopi ini juga tidak disengaja. Menel yang awalnya bekerja di perusahaan swasta sering menikmati kopi di wilayah Dampit. “Dampit memang dikenal sebagai produsen kopi berkualitas sejak masa kolonial Belanda. Tetapi, petani tidak pernah bisa menikmati hasil pertanian kopi,” tuturnya.
Para petani tidak memiliki daya tawar untuk mematok harga kopi hasil panennya sendiri. Harga kopi ditentukan oleh para pedagang besar. Akibatnya, petani kopi di daerah yang termasyhur oleh kualitas kopinya ini tetap saja berada di garis kemiskinan.
Keprihatinan keempatnya membawa mereka masuk ke Dampit dan menyelami persoalan yang dihadapi para petani kopi. Kopi Dampit selama ini selalu dikalahkan dengan kopi Aceh, kopi Lampung, dan bahkan dengan kopi Ijen. Padahal, kualitas kopi Dampit sebelumnya telah diakui dunia internasional.
Setelah menyelami kehidupan para petani kopi di tiga desa tersebut, Menel menemukan ada kelemahan dalam penanganan kopi di tingkat petani. Proses panen dan penanganan pascapanen dilakukan secara sembarangan. Akibatnya, harga jualnya juga sangat rendah.
Melihat kondisi tersebut, akhirnya mereka berupaya membangun kopi yang diproduksi para petani agar memiliki kualitas bagus. Upaya ini tidaklah mudah karena harus menghadapi kebiasaan petani yang sudah turun-temurun. Para petani menilai, tanpa proses yang rumit dan ala kadarnya, kopi produksi mereka masih bisa dijual di pasaran.
Buah kopi tidak pernah dipetik merah. Banyak buah kopi yang masih hijau juga ikut dipetik demi mengejar kuantitas. Hasil panen antara kopi merah dan kopi yang masih hijau dicampur begitu saja. Proses penjemuran buah kopi juga asal-asalan, hanya beralaskan lantai semen.
Dia pun mulai mengajak petani untuk mengubah kebiasaan mengolah kopi secara sembarangan. Semangatnya, apabila kopi diolah dengan baik dan menghasilkan biji yang berkualitas, maka harganya juga akan meningkat. “Selama satu tahun saya tinggal di rumah petani kopi di wilayah Sridonoretno. Tujuannya agar bisa berinteraksi langsung dengan petani setiap hari dan mengajarkan cara benar dalam menangani kopi,” ungkapnya.
Upaya membangun penyadaran ini, salah satunya dilakukan dengan melakukan perbandingan antara biji kopi yang dipetik hijau maupun kuning. Biji kopi yang dipetik merah, setiap kilogram (kg) berisi 505 butir biji kopi sedangkan yang dipetik kuning mencapai 540 butir per kg. Kopi yang dipetik hijau jumlah bijinya lebih banyak, yakni 600 butir per kg.
Pengen baca lanjutan nya buka link di samping : http://ift.tt/2vAtETT
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Menyeruput Kopi Berkeadilan dan Berkeadaban di Dampit"
Post a Comment